Jumat, 25 Oktober 2013

Kisah Tobat Abdullah bin Ka’ab bin Malik ra (2)


Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi

Selang empat puluh hari, tiba-tiba seorang utusan Rasulullah saw. datang kepadaku dan berkata: “Rasulullah saw. memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu.” Ka’ab bertanya: “Apakah saya harus menceraikannya, atau bagaimana?” utusan itu menjawab: “Tidak, tetapi hindarilah dia, jangan dekat-dekat kepadanya.”
Rasulullah saw. juga mengirimkan utusan kepada kedua orang temanku (Murarah dan Hilal), yang dimaksudnya sama dengan yang kuterima. Saya berkata kepada istriku: “Pulanglah kepada keluargamu. Sementara menetaplah engkau di sana, sampai keputusan Allah datang.
Suatu saat istri Hilal bin Umayyah menghadap Rasulullah saw. memohon kepada beliau: “Ya Rasulallah, suamiku, Hilal bin Umayyah, adalah seorang tua sebatangkara dan tidak mempunyai pelayan. Apakah engkau keberatan bila aku melayaninya?” Rasulullah menjawab: “Tidak, tetapi yang saya maksud jangan sampai ia dekat-dekat kepadamu.” Istri Hilal pun berkata: “Demi Allah, Hilal sudah tidak lagi mempunyai keinginan sedikitpun (gairah) terhadapku. Dan demi Allah, tak henti-hentinya dia menangis sejak engkau melarang muslimin berbicara dengannya, sampai hari ini.”

Sebagian keluarga berkata kepada saya: “Hai Ka’ab. Kalau saja engkau meminta izin kepada Rasulullah untuk istrimu tentu itu lebih baik, sebagaimana istri Hilal bin Umayyah untuk melayani suaminya.” Saya menjawab: “Saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah saw. apabila saya meminta izin kepada beliau, sedangkan saya seorang yang masih muda.”
Saya lalui kehidupan tanpa istri itu selama sepuluh hari (menunggu keputusan Allah). Genaplah sudah bagi kami, lima puluh hari sejak ada larangan berbicara dengan kami. Kemudian pada hari ke lima puluh, di bagian atas rumahku pada saat aku sedang duduk ketika shalat subuh, Allah menyebut-nyebut tentang kami. Di saat itu pula hatiku sangat resah, bumi yang sedemikian luas seakan sempit bagiku. Kemudian aku mendengar suara orang yang berteriak-teriak naik ke atas Sal’i. “Hai Ka’ab bin Malik, bergembiralah.” Serta merta aku menjatuhkan diri bersujud syukur dan aku tahu, bahwa saya dapat penyelesaian.

Rasulullah saw. memberitahu kepada kaum Muslimin, bahwa Allah Yang Mahaagung dan Mahatinggi telah menerima tobat kami bertiga. Kabar itu disampaikan seusai beliau mengerjakan shalat subuh. Maka kaum Muslimin berdatangan mengucapkan selamat dan ikut bergembira, juga kepada kedua orang teman (Murarah dan Hilal). Mereka ada yang datang berkuda, ada juga penduduk Aslam yang berjalan kaki dan ada pula yang naik gunung berteriak mengucapkan selamat, sehingga suaranya lebih cepat dari larinya kuda.
Ketika saya mendengar ucapan selamat dari orang pertama dan datang kepada saya, seketika itu juga saya melepaskan pakaian dan saya kenakan kepadanya. Padahal demi Allah, waktu itu saya tidak memiliki pakaian. Setelah itu saya meminjam pakaian dan berangkat untuk menghadap Rasulullah saw. sementara kaum Muslmini menyambut, mengucapkan selamat atas diterimanya tobatku. Mereka berkata kepada saya: “Selamat atas pengampunan Allah kepadamu.”
Demikianlah, sepanjang jalan kaum muslimin memberikan selamat. Sesampainya di masjid, ternyata Rasulullah saw. sedang duduk dikelilingi oleh para shahabat. Melihat kedatanganku, shahabat Thalhah bin Ubaidillah segera berdiri menyongsongku, menjabat tangan saya dan memberi ucapan selamat. Demi Allah. Tak seorangpun di antara para shahabat Muhajirin yang berdiri, kecuali dia. Karena itulah Ka’ab tidak bisa melupakan kebaikannya.
Ka’ab meneruskan ceritanya: “Tatkala saya mengucapkan salam kepada Rasulullah saw. beliau menyambut saya dengan wajah yang berseri-seri dan berkata: “Bergembiralah karena hari ini merupakan hari terbaik bagimu, sejak kamu dilahirkan ibumu.” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu darimu sendiri atau dari sisi Allah?” Beliau menjawab: “Dari Allah Yang Maha Agung dan Mahatinggi.”

Jika merasa senang, wajah Rasulullah saw. bersinar terang, seolah-olah merupakan potongan rembulan. Melalui wajahnya, kami mengetahui bahwa Rasulullah saw. sedang senang hatinya. Ketika aku duduk menghadap beliau, aku berkata: “Ya Rasulullah, sungguh, termasuk tobat saya (sebagai pernyataan rasa syukurku) aku hendak menyerahkan harta bendaku sebagai sedekah untuk (mendapatkan ridla) Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah saw. bersabda: “Simpanlah sebagian harta-bendamu (jangan engkau serahkan seluruhnya). Itu lebih baik.” Kemudian saya menjawab: “Saya masih mempunyai tanah yang menjadi bagian saya hasil rampasan perang di Khaibar.” Lebih lanjut saya berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya, Allah telah menyelamatkanku karena kejujuran. Dan saya nyatakan, bahwa termasuk tobatku (sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah) saya tidak akan berbicara selain yang benar, selama hidup saya.” Demi Allah, saya tidak pernah melihat seorangpun di antara kaum muslimin yang diuji Allah Ta’ala untuk berkata jujur, lebih baik dari saya semenjak berjanji kepada Rasulullah saw. hingga hari ini, aku tidak pernah sengaja berbohong. Dan saya berharap semoga Allah menjagaku dalam sisa hidupku.
Kemudian Allah menurunkan ayat 117-119: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”

Menurut Ka’ab, demi Allah. Belum pernah Allah memberikan nikmat, sesudah Dia memberi saya petunjuk memeluk Islam yang melebihi kejujuran saya kepada Rasulullah saw. sebab, andaikata saya berbohong kepada beliau, pastilah bencana menimpa saya (rusak agamaku) sebagaimana orang-orang munafik yang berdusta kepada beliau. Sungguh, Allah telah berfirman untuk orang-orang yang mendustai Rasulullah saw. dan mengecam betapa jelek orang tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam surah at Taubah ayat 95 dan 96: “kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena Sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. 96. mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. tetapi jika Sekiranya kamu ridha kepada mereka, Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang Fasik itu.”
Lebih lanjut Ka’ab berkata: “Urusan kami bertiga ditunda dari urusan orang-orang munafik, ketika mereka bersumpah kepada Rasulullah saw. lalu mereka menerima baiat mereka dan meminta ampun kepada Allah swt. tetapi masalah kami ditunda Rasulullah saw. sampai Allah memutuskan menerima tobat kami. Sebagaimana firman Allah: “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan tobatnya.” (at Taubah: 118)

Firman Allah tersebut menurut Ka’ab, bukan berarti kami bertiga ketinggalan dari perang Tabuk, tetapi mempunyai arti bahwa persoalan kami bertiga diundur dari orang munafik yang bersumpah kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan bermacam-macam alasan yang kemudian diterima oleh Rasulullah saw.” (HR Bukhari dan Muslm)
Dalam salah satu riwayat disebutkan: “Nabi saw. pada waktu perang Tabuk keluar pada hari Kamis; dan memang sudah menjadi kesukaan beliau untuk bepergian pada hari kamis.”
Dalam salah satu riwayat disebutkan: “Biasanya beliau kalau datang dari bepergian pada waktu pagi hari, dan bila datang biasanya langsung ke Masjid dan shalat dua rakaat kemudian duduk di dalamnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar