Jumat, 25 Oktober 2013

Kisah Tobat Abdullah bin Ka’ab bin Malik ra (1)


Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi

Dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik ra. (beliau adalah salah seorang panglima perang), dari anaknya, ia berkata: “Saya mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang tertinggalnya (tidak bersama) Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Ka’ab bin Malik berkata: “Saya selalu bersama Rasulullah saw. dalam setiap peperangan, kecuali dalam perang Tabuk. Memang, saya juga tidak bersama beliau dalam perang Badar, tetapi tak seorangpun dicela, karena tidak ikut perang tersebut. Sebab waktu itu Rasulullah saw. bersama kaum muslimin keluar bertujuan menghadang rombongan Quraisy, lalu tanpa terduga Allah mempertemukan mereka dengan musuh. Sungguh aku mengikuti pertemuan bersama Rasulullah saw. pada malam hari di dekat Jumrah Aqabah, ketika kami berjanji memeluk agama Islam. Saya tidak merasa lebih senang seandainya saya bisa mengikuti perang Badar, tetapi tidak mengikuti Baiat di Jumrah Aqabah, meskipun perang Badar lebih banyak disebut-sebut keutamaannya di kalangan manusia daripada Baiat di Jumrah Aqabah. Adapun cerita tentang diriku tidak ikut perang Tabuk, waktu itu saya sama sekali tidak merasa lebih kuat ataupun lebih mudah (mencari perlengkapan perang), daripada ketika aku tertinggal dari Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Demi Allah sebelum perang Tabuk saya tidak dapat mengumpulkan dua kendaraan sekaligus, tetapi waktu perang Tabuk kalau mau saya bisa melakukannya. Dikarenakan Rasulullah saw. berangkat ke Tabuk ketika hari sangat panas, menghadapi perjalanan sangat jauh dan sulit, serta menghadapi musuh yang berjumlah besar, maka Rasulullah saw. merasa perlu membekali kaum Muslimin akan kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi, agar kaum Muslimin membuat persiapan yang cukup. Rasulullah saw. juga menjelaskan tentang tujuan mereka.

Waktu itu, kaum Muslimin yang ikut perang Tabuk bersama Rasulullah saw. cukup banyak (sekitar 30.000 orang), tetapi nama-nama mereka tidak tercatat dalam buku. Sedikit sekali di antara mereka yang absen (bersembunyi tidak ikut perang). Orang-orang yang absen itu mengira bahwa Rasulullah saw. tidak mengetahuinya, selama wahyu Allah tidak turun.
Rasulullah saw. berangkat ke Tabuk ketika buah-buahan dan tetumbuhan kelihatan bagus. Karena itu, hatiku lebih condong kesana (kepada buah-buahan dan tetumbuhan). Tatkala Rasulullah dan kaum Muslimin hendak berangkat mempersiapkan segala sesuatunya, akupun bergegas keluar, guna mempersiapkan diri bersama mereka. Namun saya kembali tanpa menghasilkan apa-apa, padahal dalam hati saya berkata: “Saya mampu mempersiapkannya jika sungguh-sungguh.” Demikian itu berlangsung terus, dan saya selalu menundanya untuk mempersiapkan perlengkapan perang, sampai kesibukan kaum muslimin memuncak. Pada akhirnya, di pagi hari Rasulullah saw. beserta kaum Muslimin berangkat, sementara saya belum mengadakan persiapan. Lalu saya keluar (untuk mencari perlengkapan), tetapi saya kembali dengan tangan kosong. Hingga kaum Muslimin bertambah jauh dan pertempuran semakin dekat. Kemudian saya putuskan untuk menyusul kaum muslimin. Dengan perasaan menyesal saya berkata: “Andai saja saya berbuat demikian, namun takdir menentukan lain.”

Akhirnya, apabila saya keluar dan bergaul dengan masyarakat sesudah berangkatnya Rasulullah saw. hatiku resah dan saya menganggap diri ini tidak lebih sebagai seorang munafik, atau lelaki yang diberi keringanan oleh Allah karena lemah (pada saat itu, di Madinah yang tinggal hanyalah orang-orang yang disebut munafik dan orang-orang yang udzur karena amat lemah, seperti orang yang tidak dapat berjalan, buta, sakit dan sebagainya). (Menurut keterangan teman-teman) Rasulullah saw. tidak pernah menyebut-nyebut saya, hingga sampai ke Tabuk. Sesampainya di Tabuk beliau bertanya: “Apa sebenarnya yang dikerjakan oleh Ka’ab bin Malik?” salah seorang dari Bani Salimah menjawab: “Ya, Rasulallah, dia terhalang oleh selendangnya dan sedang memandang kedua pinggangnya (sedang bersenang-senang memakai pakaiannya).” Tetapi Mu’adz bin Jabal menghardiknya: “Betapa buruk perkataanmu, Demi Allah, yang kami ketahui dari Ka’ab hanyalah kebaikan.” Rasulullah saw. pun diam, pada saat itulah Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki berpakaian putih sedang berjalan di kejauhan. Rasulullah saw. berasabda: “Mudah-mudahan itu adalah Abu Khaitsamah.” Ternyata benar, orang itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshariy. Dialah yang bersedekah segantang kurma, ketika diolok-olok oleh munafikun.
Ka’ab meneruskan ceritanya: “Tatkala saya mendengar, bahwa Rasulullah saw. berada dalam perjalanan pulang dari Tabuk, maka kesusahanpun mulai menyelimuti saya. Saya mulai mereka-reka, alasan apa yang bisa menyelamatkan saya dari Rasulullah saw.. Saya juga meminta bantuan keluargaku mencari alasan dan jalan keluar yang baik.

Tetapi ketika mendengar bahwa Rasulullah saw. sudah dekat, hilanglah segala macam kebohongan yang saya siapkan, hingga saya yakin bahwa tidak ada alasan yang bisa menyelamatkan dari Rasulullah saw., selamanya. Karena itu saya akan mengatakan yang sebenarnya. Keesokan harinya, Rasulullah saw. tiba. Biasanya, kalau beliau datang dari bepergian, yang beliau tuju pertama kali adalah masjid. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat lalu duduk menunggu kaum muslimin melaporkan sesuatu dan sebagainya.
Maka berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk, menemui beliau. Mereka mengemukakan berbagai alasan kepada Rasulullah saw. disertai dengan sumpah. Mereka yang tidak ikut perang Tabuk ada 80 orang lebih. Rasulullah saw. menerima mereka, beliau memperkenankan memperbaharui baiat dan memohonkan ampunan bagi mereka, sedangkan batin mereka, beliau serahkan kepada Allah Ta’ala. Tibalah giliran saya menghadap. Ketika saya mengucapkan salam beliau tersenyum sinis, kemudian bersabda: “Kemarilah.” Ka’ab berjalan mendekat dan duduk di hadapan beliau. Lalu beliau mulai bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau tidak ikut berangkat? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?” saya menjawab: “Ya, Rasulullah, demi Allah, andaikan aku duduk di hadapan orang sekalinmu, saya yakin akan dapat bebas dari kemarahannya dengan mengemukakan alasan yang bisa diterima. Sungguh, saya telah dikaruniai kepandaian bicara. Namun demi Allah aku benar-benar yakin, seumpama hari ini aku berkata bohong dan engkau menerimanya, pasti sebentar lagi Allah akan menggerakkan hatimu untuk marah kepada saya. Sebaliknya jika saya berkata benar, yang membuatmu marah kepadaku, maka saya dapat mengharapkan penyelesaian yang baik dari Allah. Demi Allah saya tidak mempunyai udzur. Demi Allah diriku sama sekali tidak merasa lebih kuat dan lebih mudah daripada ketika aku tidak mengikutimu ke Tabuk. Sekarang ini, saya merasa cukup segalanya.”
Rasulullah saw. bersabda: “Orang ini (Ka’ab bin Malik) telah berkata benar. Berdirilah. Tunggulah keputusan Allah terhadap dirimu.” Aku pun berdiri. Beberapa orang dari bani Salimah menghampiri saya. Mereka berkata kepada saya: “Demi Allah, kami tidak pernah melihat engkau melakukan dosa sebelum ini. Engkau benar-benar tidak mampu mengemukakan alasan kepada Rasulullah saw. seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yang tidak ikut ke Tabuk. Mestinya cukuplah bagimu, jika Rasulullah saw. memintakan ampun untukmu.”
Ka’ab melanjutkan: “Demi Allah, orang-orang bani Salimah itu terus menerus menyalahkan diriku, sehingga ingin rasanya saya kembali kepada Rasulullah saw. untuk meralat perkataanku. Tetapi kemudian aku bertanya kepada orang-orang bani Salimah itu: “Adakah orang lain yang mengalami seperti yang saya alami?” mereka menjawab: “Ya, memang ada. Ada dua orang yang mengatakan seperti yang engkau katakan dan mereka mendapatkan jawaban sama seperti jawaban yang engkau terima.” Saya bertanya: “Siapa mereka?” mereka menjawab: “Murarah bin Rabi’ah al-Amiriy dan Hilal bin Umayyah al-Waqifiy.”

Dua orang laki-laki shalih itu telah mengikuti perang Badar dan dapat kuikuti karena akhlaknya. Sejak saat itu, Rasulullah saw. melarang kaum Muslimin berbicara dengan kami bertiga. Sejak itu pula mereka telah berubah sikap dan menjauhi kami, sehingga bumi terasa asing bagiku, seolah-olah bumi yang saya pijak ini bukanlah bumi yang sudah kukenal. Keadaan seperti ini berlangsung selama lima puluh hari. Dua orang temanku (Murarah dan Hilal) menyembunyikan diri dan diam di rumahnya masing-masing, sambil tiada henti-hentinya menangis memohon ampun kepada Allah karena tidak ikut perang.
Di antara kami bertiga, akulah yang paling muda dan paling kuat. Aku tetap keluar rumah untuk mengikuti shalat jamaah bersama kaum muslimin, juga pergi ke pasar, tetapi tidak seorangpun mau diajak bicara. Saya pergi menghadap Rasulullah saw. untuk sekedar mengucapkan salam kepada beliau di tempat duduk beliau sesudah shalat. Tetapi hati ini berkata: “Apakah Rasulullah saw. akan menggerakkan bibir beliau untuk menjawab salam, ataukah tidak?” kemudian saya mengerjakan shalat berdekatan dengan beliau, sesekali saya melirik beliau. Apabila menghadap ke shalat, beliau memandangiku, kalau menengok ke arah beliau, beliau berpaling dari saya.

Hal itu terjadi berturut-turut sampai suatu hari saya berjalan-jalan, lalu melompati pagar pekarangan Abu Qatadah. Dia adalah saudara sepupu dan orang yang paling aku sayangi. Kuucapkan salam kepadanya, demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa aku ini cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah diam saja. Sehingga kuulangi pertanyaanku, dia tetap diam, sesudah saya ulangi pertanyaan saya sekali lagi, berulah ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Seketika itu mengalirlah air mata sya dan saya pun pulang.
Pada suatu hari saya sedang berjalan-jalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang petani beragama Kristen dari Syam yang datang ke Madinah untuk menjual bahan makanan. Petani itu bertanya (kepada orang-orang yang berada di pasar): “Siapakah yang dapat menunjukkan diriku kepada Ka’ab bin Malik?” orang-orang memberi isyarat ke arahku. Petani itu mendatangiku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku, dari raja Ghassan. Setelah saya baca ternyata isinya sebagai berikut: “Amma ba’du. Sungguh, kami mendengar bahwa temanmu (Nabi Muhammad saw.) mendiamkanmu, sedangkan Allah sendiri tidak menjadikanmu untuk tinggal di tempat hina san tersia-sia. Karena itu datanglah ke negeri kami. Kami pasti menolongmu.” Saat membaca surat itu aku berfikir: “Ini juga merupakan cobaan.” Kemudian saya bakar surat itu di dapur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar