Jumat, 25 Oktober 2013

Iman (Akhlak Islam) (1)


Definisi Iman:

Menurut bahasa: Iman adalah kebalikan dari kufur
Menurut syara’: membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan.
Urgensi dan Kedudukan Iman

Iman merupakan landasan diterimanya amal. Allah berfirman: “dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan[1062], lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS 25:23)

Amal yang paling utama dan paling bersih disisi Allah. Diriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata: “Wahai Rasulallah, amal apa yang paling utama?” Rasulullah bersabda: “Iman kepada Allah dan jihad di jalan-Nya (HR Bukhari)
Allah memerintahkan kita untuk beriman dan Allah menjadikan Iman sebagai jalan menuju hidayah dan sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah berfirman: “Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk” (QS 7: 158)

Disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 840 kali
Penyadar bagi orang Mukmin yang ketika bermaksiat dan pengingat untuk bertaubat. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS 7: 201)

Iman membantu beramal shaleh. Sesuai dengan kadar keimanan di hati seseorang, demikian pula kadar responnya terhadap ketaatan, dalam bersegera menjalankan kebaikan, dan bersabar dalam menghadapi kesulitan.

Iman merupakan dasar kepribadian, keistimewaan dan kekuatan seorang Mukmin. Allah berfirman: “Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS 49: 17) dalam ayat lain Allah berfirman: “… tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus,” (QS 49: 7)
Kedudukan seorang beriman di sisi Allah

1. Mendapat kebersamaan Allah. Kebersamaan Allah itu ada dua macam, yakni kebersamaan umum dan kebersamaan khusus. Allah berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.” (QS 57: 4). Dan firman Allah: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS 9: 40)

Mendapat pembelaan, pertolongan dan perlindungan Allah. Allah berfirman: “38. Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS 22: 38). Dalam ayaat lain Allah berfirman: “Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (30: 47)

Allah memerintahkan untuk menghormati dan berlaku lembut terhadap orang yang beriman. Allah berfirman: “Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS 15: 88). Dalam ayat lain Allah berfirman: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Allah melarang keras untuk menyakiti dan menghinakan orang yang beriman. Allah berfirman: “..dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS 33: 58). Rasulullah bersabda: “Barang siapa menyakiti kekasihku, maka sesungguhnya aku telah mengizinkan peperangan terhadapnya.” (HR Bukhari)

Ada perintah untuk bersahabat dengan orang Mukmin. Rasulullah bersabda: “Hendaklah jangan memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa, dan jangan berteman kecuali pada orang beriman.” (HR Ahmad)
Buah-buah Iman

Mendapat perlindungan dan penjagaan yang khusus dari Allah. Allah berfirman: “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS 2: 257)

Mendapat keberuntungan berupa ridla Allah. Allah berfirman: “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS 9: 72)

Kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Allah berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 16: 97)

Allah dan orang Mukmin mencintai orang-orang yang beriman. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS 19: 96)

Allah mengangkat derajat orang beriman. Allah berfirman: “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 58: 11)
Bias mengambil manfaat dari nasehat. Allah berfirman: “dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS 51: 55)

Menghilangkan keraguan yang membahayakan agama. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS 49: 15)

Tenang ketika takut, memiliki kekuatan, keberanian dan keteguhan. Allah berfirman: “(yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung”. (QS 3: 173)

Iman (Akhlak Islam) (2)


Dampak Iman
Melaksanakan syariat. Dampak iman yang paling utama bagi seorang mukmin adalah komitmen dan konsisten mereka terhadap syariat Allah. Mereka senantiasa kelihatan menegakkan hukum-hukum Allah, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Allah berfirman: “Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan Kami patuh”. dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.” (QS 24: 51-52) contoh nyata adalah pada masa shahabat ketika khamr diharamkan dan hijab diperintahkan.
Menjauhi syirik

Mencintai karena Allah. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak beriman seorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya.” (HR Bukhari)

Berjihad di jalan Allah. Iman yang sesungguhnya akan mendorong seorang mukmin untuk membela agamanya dengan apa saja yang dia miliki. Allah berfirman: “tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri rasul. yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik,” (QS 9: 120)

Sikap wala’ dan bara’ kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS 5: 55)
Memiliki akhlak yang baik. Rasulullah bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang baik akhlaknya.” ()
Faktor-faktor Penguat dan Penambah Iman

Menjalankan kewajiban dan komitmen terhadapnya. Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi: “Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai melebihi yang Aku fardlukan kepadanya.” (HR Bukhari)

Berdzikir. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS 8: 2). Rasulullah bersabda: “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak berdzikir kepada Allah adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati.” (HR Bukhari-Muslim)

Berteman dengan orang-orang yang baik. Allah berfirman: “dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS 18: 28)

Mengingat kematian. Rasulullah ditanya: “Siapakah orang yang paling cerdik?” Rasulullah menjawab: “Yaitu yang paling banyak mengingat dan mempersiapkan diri untuk mati. Mereka itu adalah orang-orang yang cerdik, mereka mendapatkan kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat.” (HR Tabrani)
Mengenal asma-ul husna. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barang siapa yang menghitungnya dia akan masuk surga.” (HR Bukhari)

Pertemuan-pertemuan imani di antara sesama. Rasulullah saw. bersabda: “Tiada suatu kaum yang duduk di majelis dengan berdzikir kepada Allah, kecuali malaikat akan mengelilingi mereka. Dipenuhi dengan rahmat, ketenangan akan diturunkan kepada mereka dan Allah menyebut mereka kepada hamba-hamba yang bersama-Nya.” (HR Muslim)

Melakukan tafakkur. Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS 3: 190-191)
Berdoa. Rasulullah bersabda: “Yaa Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami penunjuk jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk.” (HR Ahmad, Nasa-i dan Hakim)

Sebab-sebab lemahnya iman
Menganggap remeh akan dosa-dosa kecil. Rasulullah saw. bersabda: “Waspadalah kalian akan dosa-dosa kecil, sesungguhnya perumpamaan dosa kecil adalah bagaikan suatu kaum yang menuruni lembah sambil membawa sebatang kayu. Setiap orang membawa sebatang kayu, sehingga mereka bisa memasak roti mereka. Demikian juga apabila dosa kecil tersebut terus dilakukan, dia akan membinasakan pelakunya.” (HR Ahmad dan Tabrani)

Berlomba dalam meraih dunia. Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah bukan kemiskinan yang aku khawatirkan bagi kalian, akan tetapi aku khawatir sekiranya Allah membukakan dunia bagi kalian sebagaimana Allah telah membukakan bagi umat sebelum kalian, kemudian kalian akan saling berebut sebagaimana mereka saling berebut. Maka dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana dunia menghancurkan mereka.” (HR Bukhari-Muslim)

Lalai dari berdzikir kepada Allah
Memiliki penyakit-penyakit hati
Bergaul dengan orang-orangg yang suka mengikuti hawa nafsu
Banyak tertawa dan bercanda. Rasulullah saw. bersabda: “Banyak tertawa itu mematikan hati.” (HR Ibnu Majah dan Dailami)
Tidak menjaga shalat lima waktu di masjid
Lalai untuk melakukan muhasabah

Niat dan Ikhlas dalam Segala Perilaku Kehidupan


Riyadhus Shalihin; Imam Nawawi

Allah Ta’ala berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam [menjalankan] agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)
Allah berfirman: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-sekali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaanlah yang dapat mencapainya.” (al-Hajj: 37)
Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: Jika kamu menyembunyikan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 29)

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib al-Qurasyiy al Adawiy ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Setiap amal disertai dengan niat. Setiap amal seseorang tergantung dengan apa yang diniatkannya. Karena itu, siapa saja yang hijrahnya (dari Makkah ke Madinah) karena Allah dan Rasul-Nya (melakukan hijrah demi mengagungkan dan melaksanakan perintah Allah dan utusan-Nya), maka hijrahnya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya (diterima dan diridlai Allah). Tetapi siapa saja yang melakukan hijrah demi kepentingan dunia yang akan diperolehnya, atau karena perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sebatas kepada sesuatu yang menjadi tujuannya (tidak diterima oleh Allah).” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ada sekelompok pasukan yang akan menyerang Ka’bah, namun ketika mereka sampai di tanah lapang, maka mereka dibinasakan dari muka sampai yang paling belakang. Aisyah bertanya: “Wahai Rasulallah. Bagaimana mereka dibinasakan dari depan sampai yang paling belakang, padahal di antara mereka ada orang yang berbelanja serta ada pula orang yang bukan golongan mereka?” beliau menjawab: “Mereka dibinasakan dari depan sampai yang paling akhir, kemudian mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niatnya masing-masing.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Aisyah ra. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Tidak ada hijrah lagi setelah dibukanya kota Makkah, tetapi yang ada adalah jihad (berjuang di jalan Allah) dan niat untuk selalu berbuat baik. Oleh karena itu, jika kalian dipanggil untuk berjuang, maka berangkatlah!” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdillah al-Anshariy ra. ia berkata: Kami bersama Nabi saw. dalam salah satu peperangan, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang, apabila kalian menempuh perjalanan atau menyeberangi lembah, mereka senantiasa mengikuti, sedangkan yang menghalangi mereka hanyalah sakit.” Dalam salah satu riwayat disebutkan, Rasulullah bersabda: “Melainkan mereka selalu menyertai kalian di dalam mencari pahala.” (HR Muslim)

Dari Anas ra. dia berkata: Kami bersama-sama dengan Nabi saw. kembali dari peperangan Tabuk, kemudian beliau menjelaskan: “Sesungguhnya masih ada beberapa kaum atau orang yang kami tinggalkan di Madinah, mereka senantiasa menyertai kita, baik sewaktu keluar masuk pedusunan maupun sewaktu menyeberangi lembah, yang menghalangi mereka hanya uzur.” (HR Bukhari)
Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin al-Akhnas ra. ia berkata: “Ayahku Yazid biasa mengeluarkan beberapa dinar untuk disedekahkan, dan dipercayakan kepada seseorang di masjid untuk membaginya. Kemudian aku pergi ke masjid untuk meminta dinar itu, dan menunjukkan kepada ayahku, lalu ayahku berkata: “Demi Allah, dinar itu tidak aku sediakan untukmu.” Peristiwa itu kemudian aku sampaikan kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda: “Bagimu apa yang kamu niatkan hai Yazid, dan bagimu apa yang kamu ambil hai Ma’an.” (HR Bukhari)

Dari Abu Ishaq Sa’ad bin Abi Waqqash Malik bin Uhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay al-Qurasyiy ra. (beliau adalah salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga) ia berkata: “Rasulullah saw. menjenguk saya ketika haji wada’, karena sakit keras, kemudian saya berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakit saya sangat keras sebagaimana yang engkau lihat, sedangkan saya mempunyai harta yang cukup banyak dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan dua pertiga dari harta saya itu?” beliau menjawab: “Tidak boleh.” Saya bertanya lagi: “Bagaimana kalau separuhnya?” beliau menjawab: “Tidak boleh.” Saya bertanya lagi: “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab: “Sepertiga itu banyak dan cukup besar. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud mencari ridla Allah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.” Kemudian saya bertanya: “Wahai Rasulallah, apakah saya akan segera berpisah dengan kawan-kawanku?” beliau menjawab: “Sesungguhnya kamu belum akan berpisah. Kamu masih akan menambah amal yang kamu niatkan untuk mencari ridla Allah, sehingga akan bertambah derajat dan keluhuranmu. Dan barangkali kamu akan segera meninggal setelah sebagian orang dapat mengambil manfaat darimu, sedangkan yang lain merasa dirugikan olehmu.” Seraya berdoa Abu Ishak berkata: “Ya Allah, mudah-mudahan shahabat-shahabatku dapat melanjutkan hijrah mereka dan janganlah engkau mengembalikan mereka ke tempat yang mereka tinggalkan, tetapi kasihan si Sa’ad bin Kaulah ang selalu disayangkan oleh Rasulullah karena ia mati di Makkah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi dia memandang kepada hati kalian.” (HR Muslim)

Dari Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ariy ra. ia berkata: “Rasulullah saw. pernah ditanya, manakah yang termasuk perang di jalan Allah: Apakah karena berperang karena keberanian, kesukuan, ataukah berperang karena ria’?” Rasulullah saw. menjawab: “Siapa saja yang berperang agar kalimat Allah terangkat, maka itulah perang di jalan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Bakrah Nufa’i bin Harits ats-Tsaqafiy ra, ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Apabila ada dua orang Islam yang bertengkar dengan pedangnya, maka orang yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama berada di dalam neraka.” Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, sudah wajar yang membunuh masuk neraka, tetapi mengapa yang terbunuh juga masuk neraka?” Beliau menjawab: “Karena ia sangat berambisi untuk membunuh kawannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Shalat seseorang dengan berjamaah, lebih banyak pahalanya daripada sendirian di pasar atau di rumahnya, selisih duapuluh derajat. Karena seseorang yang telah menyempurnakan wudlunya, kemudian pergi ke masjid dan hanya bertujuan untuk shalat, maka setiap langkah diangkatlah satu derajat dan diampuni satu dosa, sampai ia masuk masjid. Apabila ia berada dalam masjid dia dianggap mengerjakan shalat selama menunggu dilaksanakannya. Para malaikat mendoakannya: “Ya Allah, kasihanilah dia, ampunilah dosa-dosanya, terimalah tobatnya selama tidak berbuat gaduh dan berhadats.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abil Abbas Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib ra. ia berkata: Rasulullah saw. menjelaskan apa yang diterima dari rabb-nya, yaitu: “Sesungguhnya Allah swt. sudah mencatat semua perbuatan baik dan buruk, kemudian Allah menerangkannya kepada para malaikat, mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk yang harus dicatat. Oleh karena itu, siapa saja bermaksud melakukan perbuatan baik, lalu tidak mengerjakannya, maka Allah mencatat maksud baik itu sebagai suatu amal yang sempurna. Jika orang itu bermaksud melakukan kebaikan lalu melakukannya, maka Allah mencatat di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat, dan dilipat gandakan lagi. Siapa saja yang bermaksud melakukan keburukan, lalu tidak jadi mengerjakannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu amal baik yang sempurna. Apabila ia bermaksud melakukan keburukan kemudian mengerjakannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kejelekan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Abdurrahman bin Abdullah bin Umar bin Kaththab ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sebelum kalian, ada tiga orang sedang berjalan-jalan, kemudian mereka menemukan sebuah gua yang dapat digunakan untuk berteduh dan merekapun masuk. Tiba-tiba ada batu yang besar dari atas bukit menggelinding dan menutupi pintu gua, sehingga mereka tidak dapat keluar. Salah seorang di antara mereka berkata: “Sungguh tidak ada yang dapat menyelamatkan kalian dari bahaya ini, kecuali kalian berdoa kepada Allah swt dengan menyebutkan amal-amal shaleh yang pernah kalian perbuat.” Kemudian salah seorang diantara mereka berdoa: “Ya Allah, saya mempunyai orang tua yang sudah renta. Kebiasaanku mendahulukan mereka minum susu sebelum saya berikan kepada anak, istri dan budakku. Suatu hari saya terlambat pulang karena mencari kayu namun keduanya sudah tidur dan aku enggan untuk membangunkannya, tetapi saya terus memerah susu untuk persediaan minum keduanya. Walaupun demikian saya tidak memberikan susu itu kepada keluarga maupun kepada budakku sebelum mereka minum. Dan saya menunggunya hingga terbit fajar. Ketika keduanya bangun, kuberikan susu itu untuk diminum, padahal semalam anakku menangis terisak-isak minta susu sambil memegang kakiku. Ya Allah, jika perbuatan itu karena mengharakan ridla-Mu, maka geserkanlah batu yang menutup gua ini.” Kemudian bergeserlah sedikit batu yang menutupi batu gua itu, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu. Orang keduapun memanjatkan doanya: “Ya Allah sesungguhnya saya mempunyai saudara sepupu yang sangat saya cintai.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Saya sangat mencintainya sebagaimana seorang laki-laki mencintai orang perempuan, saya ingin selalu berbuat zina dengannya, tetapi ia selalu menolaknya. Beberapa tahun kemudian, ia tertimpa kesulitan. Iapun datang untuk meminta bantuanku, dan saya berikan kepadanya seratus duapuluh dinar dengan syarat menyerahkan dirinya kapan saja saya menginginkan.” Pada riwayat yang lain: “Ketika saya berada di antara kedua kakinya, ia berkata: “Takutlah kamu kepada Allah. Janganlah kamu sobek selaput daraku kecuali dengan jalan yang benar.” Mendengar yang demikian saya meninggalkannya dan merelakan emas yang aku berikan, padahal dia orang yang sangat aku cintai. Ya Allah, jika perbuatan itu karena mengharap ridla-Mu, maka geserkanlah batu yang menutupi gua ini.” Kemudian bergeserlah batu itu, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu. Orang yang ketiga melanjutkan doanya: “Ya Allah, saya mempekerjakan beberapa karyawan dan digaji dengan sempurna kecuali ada seorang yang meninggalkan saya dan tidak mau mengambil gajinya terlebih dulu. Kemudian gaji itu saya kembangkan sehingga menjadi banyak. Selang beberapa tahun ia datang dan berkata: “Wahai hamba Allah, berikanlah gajiku.” Saya berkata: “Semua yang kamu lihat baik unta, sapi, kambing maupun budak yang menggembalakannya, semua adalah gajimu.” Ia berkata: “Wahai hamba Allah, janganlah engkau mempermainkanku.” Saya menjawab: “Saya tidak mempermainkanmu.” Kemudian iapun mengambil semuanya dan tidak meninggalkannya sedikitpun. Ya Allah, jika perbuatan itu karena mengharapkan ridla-Mu, maka singkirkanlah batu yang menutupi pintu gua ini.” Kemudian bergeserlah batu itu dan merekapun bisa keluar dari dalam gua.” (HR Bukhari dan Muslim).

Aqidah Islam


Definisi Aqidah

Secara etimologi (bahasa) aqidah berarti:
- simpul atau ikatan

- sumpah atau perjanjian

- kehendak yang kuat

Secara terminologi (istilah):
Aqidah adalah hal-hal yang diyakini kebenarannya oleh jiwa, mendatangkan ketenteraman hati, menjadi keyakinan yang kokoh yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan; atau
Aqidah adalah sejumlah persoalan (kebenaran) yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Catatan:

Aksioma (badihiyah) adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi perlu pembuktian. Misalnya seperempat lebih sedikit dari setengah.
Setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran (bertuhan), indra untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak.
Aqidah merupakan keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keraguan.
Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (al Hujurat: 15)

Aqidah mendatangkan ketenteraman jiwa. Allah berfirman: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (ar-Ra’du: 28)
Bila seseorang telah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu
Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang sangat tergantung kepada tingkat pemahaman terhadap dalil atau bukti yang dia peroleh.
Sumber Aqidah Islam

Sumber aqidah Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Apa saja yang disampaikan oleh Allah swt. dalam al-Qur’an dan oleh Rasulullah saw. dalam sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan). Dalam hadits disebutkan: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan sesat selamanya. Yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.”

Akal fikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba –kalau diperlukan- membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan Sunnah, itupun harus didasari oleh kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluq Allah. Akal tidak akan mampu menjangkau masalah-masalah ghaib, bahkan tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu. Oleh sebab itu akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa berita tentang hal-hal ghaib tersebut dibuktikan secara ilmiah oleh akal fikiran.

Catatan:

Apa yang saya dapatkan dengan indera saya, saya yakini adanya. Kecuali jika akal saya mengatakan “tidak” berdasarkan pengalaman masa lalu.
Keyakinan disamping diperoleh dengan menyaksikan langsung juga bisa melalui berita yang diyakini kejujuran si pembawa berita.
Anda tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu hanya karena anda tidak bisa menjangkaunya dengan indera mata.
Seseorang hanya bisa menghayalkan sesuatu yang sudah pernah dijangkau oleh inderanya.
Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan waktu dan ruang.
Urgensi Aqidah Islam

Membebaskan manusia dari tunduk dan penghambaan kepada selain Allah.
Seseorang yang beraqidah Islam hanya menyembah dan tunduk kepada Allah Swt. dan menjauhi segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada selain Allah Swt. Karena yang berhak disembah dan diberi ketundukan mutlak hanyalah Allah Swt.

Seseorang yang beraqidah Islam meyakini bahwa Yang Mahakuasa hanyalah Allah Swt, Yang Berkuasa untuk mendatangkan kebaikan dan yang berkuasa untuk menghilangkan keburukan. Allah berfirman: “Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan dia sendiri. dan jika dia mendatangkan kebaikan kepadamu, Maka dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (al-An’am: 17)

Oleh karena itu Rasulullah saw. menyuruh kita untuk hanya memohon pertolongan kepada Allah Swt. saja sebagaimana sabda beliau: “…dan jika kamu minta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah Swt.” (HR Tirmidzi).

Dengan demikian maka seorang Muslim tidak tergantung dan berserah diri kepada siapapun kecuali kepada Allah Swt. sebagaimana firman Allah: “…jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim (yang berserah diri kepada Allah)’” (QS 3: 64).

Membangkitkan jiwa berani dan cinta demi kebenaran.
Aqidah Islam akan melahirkan manusia-manusia pemberani dan cinta membela kebenaran. Karena Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini sudah Allah tentukan dan sudah Allah takdirkan. Tidak ada kematian kecuali atas izin Allah yang telah tertulis di lauhul mahfudz. Allah berfirman: “Sesuatu yang bernyata tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya…” (QS 3: 145).

Dalam ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui.” (Nuh: 4)

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (al-A’raaf: 34)

“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati.” (Ali ‘Imraan: 185)

Aqidah sumber ketentraman jiwa dan keamanan manusia.
Aqidah Islam akan melahirkan manusia-manusia yang memiliki ketentraman jiwa dan sekaligus mendatangkan rasa aman pada manusia baik di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (ar-Ra’du: 28)

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82)

“Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang Telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi[1394] dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (al-Fath: 4)

Aqidah membangun kepribadian yang seimbang
Pribadi yang seimbang diawali dengan keyakinan akan keesaan Tuhannya (Allah Swt.) berbeda dengan orang-orang yang meyakini tuhan mereka lebih dari satu maka orang itu akan mengalami keraguan dan kebimbangan. Dan inilah yang diungkapkan oleh Nabi Yusuf yang diabadikan dalam al-Qur’an: “Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf: 39).

Seluruh ajaran Islam juga mengajak kita untuk hidup secara tawazun/ seimbang. Allah berfirman: “Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qashash: 77)

Aqidah sumber kehidupan yang baik untuk pribadi dan masyarakat di dunia dan di akhirat. Allah berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (al-A’raaf: 96)

Aqidah adalah dasar persaudaraan, persamaan dan keadilan. Aqidah Islam adalah asas persaudaraan, kesetaraan dan keadilan, karena Islam memandang seluruh manusia adalah keturunan Adam a.s. Berarti seluruh manusia adalah saudara. Allah berfirman: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (an-Nisaa’: 1)
Islam memandang bahwa antara sesama Muslim adalah bersaudara. Bahkan ikatan aqidah jauh lebih kuat daripada ikatan nasab. Firman Allah: “..orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat: 10).

Khutbah Rasulullah saw.: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu (esa) dan sesungguhnya bapakmu satu, kalian semua dari Adam dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia dari kalian adalah yang paling bertaqwa.” ()

Tobat (1)


Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi

Menurut pendapat para ulama, tobat hukumnya wajib. Syarat-syarat bertobat ada tiga, jika perbuatan dosanya tidak bersangkutan dengan manusia, yaitu:
1. Harus meninggalkan maksiat yang telah dilakukan
2. Menyesali perbuatannya
3. Bertekad tidak melakukannya kembali perbuatan itu selama-lamanya.
Apabila salah satu dari tiga syarat itu tidak dipenuhi, maka tobatnya tidak sah. Kalau maksiat itu berhubungan dengan sesama manusia, maka syarat tobatnya ada empat, yaitu tiga syarat yang sudah disebutkan dan ditambah dengan membersihkan atau membebaskan diri dari hak tersebut, dengan cara:
- Apabila berupa harta benda, maka harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya
- Apabila berupa had qadzaf (menuduh zina) dan semisalnya, maka kewajibannya menyerahkan diri kepada orang yang punya hak, atau meminta maafnya. Menurut ahli haq, seseorang yang bertobat hanya sebagian dosanya, adalah sah, tetapi dosa yang lain masih tetap ada. Adapun dalil-dalil dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama tentang kewajiban-kewajiban tobat banyak sekali, di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman: “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (an-Nur: 31)

Allah berfirman: “Dan hendaklah kamu minta ampun kepada Tuhanmu dan bertobatlah kepada-Nya.” (Hud: 3)
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya.” (at-Tahrim: 8)
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya saya membaca istighfar dan bertobat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali setiap hari.” (HR Bukhari)
Dari al-Aghar bin Yasar al-Muzanniy ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya saya bertobat seratus kali setiap hari.” (HR Muslim)
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshariy (pembantu Rasulullah saw.) berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah gembira menerima tobat hamba-Nya, melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian ketika menemukan kembali untanya yang hilang di padang yang luas.” (HR Bukhari Muslim)

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat gembira menerima tobat hamba-Nya ketika bertobat kepada-Nya, melebihi dari kegembiraan seseorang yang berkendaraan di tengah padang pasir tetapi hewan yang dikendarainya lari meninggalkannya, padahal di atas hewan itu terdapat makanan dan minuman, kemudian dia berteduh di bawah pohon, dan membaringkan badannya, sedangkan ia benar-benar putus asa untuk menemukan kembali hewan yang dikendarainya. Ketika bangkit tiba-tiba ia menemukan kembali hewan yang dikendarainya lengkap dengan bekal yang dibawanya, iapun segera memegang tali kekangnya, seraya berkata dengan gembira: “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu.” Ia keliru mengucapkan kalimat itu karena luapan kegembiraannya.”

Dari Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ariy ra. Dari Nabi saw. beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala itu membentangkan tangan-Nya (memberi kesempatan) pada waktu malam, untuk tobat orang yang berbuat dosa pada siang hari. Dan Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu siang, untuk tobat orang yang berbuat dosa pada malam hari, hingga matahari terbit di barat.” (HR Muslim)
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah menerima tobatnya.” (HR Muslim)

Dari Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung akan menerima tobat seseorang sebelum nyawa sampai di tenggorokan (sebelum sekarat).” (HR Tirmidzi)
Dari Zir bin Hubais, ia berkata: “Saya mendatangi Shafwan bin ‘Assal ra. untuk menanyakan tentang mengusap kedua khuf, kemudian dia menanyaiku: ‘Wahai Zir, mengapa engkau kemari?’ saya menjawab: ‘Sesungguhnya malaikat membentangkan sayapnya bagi orang yang menuntut ilmu, karena senang terhadap yang dicarinya.’ Kemudian aku melanjutkan pertanyaanku: ‘Wahai Sofwan, saya masih belum jelas tentang cara mengusap kedua sepatu sesudah berak dan kencing, sedangkan engkau adalah salah seorang sahabat Nabi saw. maka saya datang kesini untuk bertanya kepadamu, apakah engkau pernah mendengar beliau menjelaskan masalah itu?’ ia menjawab: ‘Ya. Beliau menyuruh kami bila dalam perjalanan agar tidak melepas khuf selama tiga hari tiga malam kecuali berjanabat, tetapi kalau hanya berak, kencing atau tidur tidak perlu dilepas.’ Saya bertanya lagi: ‘Apakah engkau pernah mendengar Rasulullah saw. menyebut tentang cinta?’ ia menjawab: ‘Betul. Ketika kami datang bepergian bersama Rasulullah saw. mendadak ada seorang Arab badui memanggil Rasulullah dengan suara yang keras: ‘Ya.. Muhammad.’ Maka Rasulullah pun menjawab menyerupai suaranya. Kemudian saya berkata kepada badui itu: ‘Rendahkanlah suaramu, karena engkau berhadapan dengan Nabi saw. dan kamu dilarang berkata seperti itu.’ Dan orang badui itu berkata lagi: ‘Bagaimana seseorang yang mencintai sekelompok orang, tetapi ia tidak boleh berkumpul bersamanya?’ Nabi saw. menjawab: ‘Seseorang itu akan bersama dengan orang yang dicintainya di hari kiamat.’ Beliau selalu bercerita kepada kami, sampai akhirnya beliau menceritakan tentang sebuah pintu yang berada di sebelah barat, pintu itu selebar 40 atau 70 tahun perjalanan.’ Menurut Sufyan, salah seorang perawi dari daerah Syiria berkata: ‘Allah Ta’ala menciptakan pintu itu ketika Ia menciptakan langit dan bumi; pintu itu senantiasa terbuka untuk menerima tobat dan tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari arah barat. (HR Tirmidzi dan yang lain)

Dari Abu Sa’ad bin Malik bin Sinan al-Khudriy ra. Nabi saw. bersabda: “Sebelum kalian, ada seorang laki-laki membunuh 99 orang. Kemudian ia bertanya kepada penduduk sekitar tentang seorang alim, maka dia ditunjukkan kepada seorang Rahib (Pendeta bani Israel). Setelah mendatanginya, ia menceritakan bahwa ia telah membunuh 99 orang, kemudian ia bertanya: “Apakah saya bisa bertobat?” ternyata pendeta itu menjawab: “Tidak.” Maka pendeta itupun dibunuhnya sehingga genaplah jumlahnya seratus. Kemudian ia bertanya lagi tentang seorang yang paling alim di atas bumi ini. Ia ditunjukkan kepada seorang laki-laki alim. Setelah menghadap ia bercerita bahwa ia telah membunuh 100 jiwa, dan bertanya: “Bisakah saya bertobat?” orang alim itu menjawab: “Ya, siapakah yang akan menghalangi orang bertobat? Pergilah kamu ke kota ini (menunjukkan ciri-ciri kota yang dimaksud), sebab di sana terdapat orang-orang yang menyembah Allah Ta’ala. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka dan jangan kembali ke kotamu, karena kotamu kota yang jelek.”

Lelaki itupun berangkat, ketika menempuh separuh perjalanan, maut menghampirinya. Kemudian timbullah perselisihan antara malaikat Rahmat dengan malaikat Ahzab, siapakah yang lebih berhak membawa rohnya. Malaikat Rahmat beralasan bahwa: “Orang ini datang dalam keadaan bertobat, lagipula menghadapkan hatinya kepada Allah.” Sedangkan malaikat Azab (bertugas menyiksa hamba Allah yang berdosa) beralasan: “Orang ini tidak pernah melakukan amal baik.” Kemudian Allah swt. mengutus malaikat yang menyerupai manusia mendatangi keduanya untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan berkata: “Ukurlah jarak kota tempat ia meninggal antara kota asal dengan kota tujuan. Manakah lebih dekat, maka itulah bagiannya.” Para malaikat itu lalu mengukur, ternyata mereka mendapati si pembunuh meninggal dekat dengan kota tujuan, maka malaikat Rahmatlah yang berhak membawa roh orang tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pada riwayat lain di dalam kitab ash-Shahihain disebutkan: “Ia lebih dekat sejengkal untuk menuju kota tujuan, maka ia dimasukkan dalam kelompok mereka.”
Dalam riwayat lain, di dalam ash-Shahihain disebutkan: “Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan kepada daerah hitam itu untuk menjauh dan memerintahkan kepada daerah yang baik itu untuk mendekat kemudian menyuruh kedua malaikat itu mengukurnya, akhirnya mereka mendapatkan daerah yang baik itu sejengkal lebih dekat sehingga ia diampuni.”
Di dalam riwayat lain disebutkan: “Allah mengarahkan hatinya untuk menuju daerah yang baik itu.”

Dari Abu Nujaid Imran bin Al-Husain al-Khuza’iy ra. ia berkata: “Ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah saw. sedangkan ia sedang hamil karena berzina dan berkata: “Ya Rasulallah, saya telah melakukan kesalahan, dan saya harus dihad (dihukum), maka laksanakanlah had itu kepada diri saya.” Kemudian Rasulullah memanggil walinya seraya bersabda: “Perlakukanlah baik-baik wanita ini, apabila sudah melahirkan, bawalah kemari.” Maka dilaksanakan perintah itu oleh walinya. Setelah wanita itu melahirkan, dibawalah ke hadapan Rasulullah saw. dan memerintahkan untuk wanita, maka diikatkanlah pakaiannya dan dirajam. Setelah ia meninggal, maka Rasulullah saw. menshalatkannya. Namun Umar berkata kepada beliau: “Ya Rasulallah, mengapa engkau menshalatkan wanita itu, padahal ia telah berzina.” Beliau menjawab: “Wanita ini benar-benar bertobat, dan seandainya tobatnya dibagi pada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya masih cukup. Pernahkah kamu mendapatkan orang yang lebih utama daripada seseorang yang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung?” (HR Muslim)

Dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik ra. Rasulullah saw bersabda: “Seandainya seseorang mempunyai satu lembah dari emas, niscaya ia ingin mempunyai dua lembah, dan tidak akan merasa puas kecuali tanah sudah memenuhi mulutnya dan Allah senantiasa menerima tobat orang yang bertobat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Allah gembira manakala ada dua orang yang saling membunuh dan keduanya masuk surga. Pertama, seseorang yang mati berjuang di jalan Allah. Yang kedua, orang yang membunuh itu bertobat kepada Allah, kemudian masuk Islam dan terbunuh di jalan Allah (mati syahid).” (HR Bukhari dan Muslim)

Kisah Tobat Abdullah bin Ka’ab bin Malik ra (1)


Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi

Dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik ra. (beliau adalah salah seorang panglima perang), dari anaknya, ia berkata: “Saya mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang tertinggalnya (tidak bersama) Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Ka’ab bin Malik berkata: “Saya selalu bersama Rasulullah saw. dalam setiap peperangan, kecuali dalam perang Tabuk. Memang, saya juga tidak bersama beliau dalam perang Badar, tetapi tak seorangpun dicela, karena tidak ikut perang tersebut. Sebab waktu itu Rasulullah saw. bersama kaum muslimin keluar bertujuan menghadang rombongan Quraisy, lalu tanpa terduga Allah mempertemukan mereka dengan musuh. Sungguh aku mengikuti pertemuan bersama Rasulullah saw. pada malam hari di dekat Jumrah Aqabah, ketika kami berjanji memeluk agama Islam. Saya tidak merasa lebih senang seandainya saya bisa mengikuti perang Badar, tetapi tidak mengikuti Baiat di Jumrah Aqabah, meskipun perang Badar lebih banyak disebut-sebut keutamaannya di kalangan manusia daripada Baiat di Jumrah Aqabah. Adapun cerita tentang diriku tidak ikut perang Tabuk, waktu itu saya sama sekali tidak merasa lebih kuat ataupun lebih mudah (mencari perlengkapan perang), daripada ketika aku tertinggal dari Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Demi Allah sebelum perang Tabuk saya tidak dapat mengumpulkan dua kendaraan sekaligus, tetapi waktu perang Tabuk kalau mau saya bisa melakukannya. Dikarenakan Rasulullah saw. berangkat ke Tabuk ketika hari sangat panas, menghadapi perjalanan sangat jauh dan sulit, serta menghadapi musuh yang berjumlah besar, maka Rasulullah saw. merasa perlu membekali kaum Muslimin akan kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi, agar kaum Muslimin membuat persiapan yang cukup. Rasulullah saw. juga menjelaskan tentang tujuan mereka.

Waktu itu, kaum Muslimin yang ikut perang Tabuk bersama Rasulullah saw. cukup banyak (sekitar 30.000 orang), tetapi nama-nama mereka tidak tercatat dalam buku. Sedikit sekali di antara mereka yang absen (bersembunyi tidak ikut perang). Orang-orang yang absen itu mengira bahwa Rasulullah saw. tidak mengetahuinya, selama wahyu Allah tidak turun.
Rasulullah saw. berangkat ke Tabuk ketika buah-buahan dan tetumbuhan kelihatan bagus. Karena itu, hatiku lebih condong kesana (kepada buah-buahan dan tetumbuhan). Tatkala Rasulullah dan kaum Muslimin hendak berangkat mempersiapkan segala sesuatunya, akupun bergegas keluar, guna mempersiapkan diri bersama mereka. Namun saya kembali tanpa menghasilkan apa-apa, padahal dalam hati saya berkata: “Saya mampu mempersiapkannya jika sungguh-sungguh.” Demikian itu berlangsung terus, dan saya selalu menundanya untuk mempersiapkan perlengkapan perang, sampai kesibukan kaum muslimin memuncak. Pada akhirnya, di pagi hari Rasulullah saw. beserta kaum Muslimin berangkat, sementara saya belum mengadakan persiapan. Lalu saya keluar (untuk mencari perlengkapan), tetapi saya kembali dengan tangan kosong. Hingga kaum Muslimin bertambah jauh dan pertempuran semakin dekat. Kemudian saya putuskan untuk menyusul kaum muslimin. Dengan perasaan menyesal saya berkata: “Andai saja saya berbuat demikian, namun takdir menentukan lain.”

Akhirnya, apabila saya keluar dan bergaul dengan masyarakat sesudah berangkatnya Rasulullah saw. hatiku resah dan saya menganggap diri ini tidak lebih sebagai seorang munafik, atau lelaki yang diberi keringanan oleh Allah karena lemah (pada saat itu, di Madinah yang tinggal hanyalah orang-orang yang disebut munafik dan orang-orang yang udzur karena amat lemah, seperti orang yang tidak dapat berjalan, buta, sakit dan sebagainya). (Menurut keterangan teman-teman) Rasulullah saw. tidak pernah menyebut-nyebut saya, hingga sampai ke Tabuk. Sesampainya di Tabuk beliau bertanya: “Apa sebenarnya yang dikerjakan oleh Ka’ab bin Malik?” salah seorang dari Bani Salimah menjawab: “Ya, Rasulallah, dia terhalang oleh selendangnya dan sedang memandang kedua pinggangnya (sedang bersenang-senang memakai pakaiannya).” Tetapi Mu’adz bin Jabal menghardiknya: “Betapa buruk perkataanmu, Demi Allah, yang kami ketahui dari Ka’ab hanyalah kebaikan.” Rasulullah saw. pun diam, pada saat itulah Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki berpakaian putih sedang berjalan di kejauhan. Rasulullah saw. berasabda: “Mudah-mudahan itu adalah Abu Khaitsamah.” Ternyata benar, orang itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshariy. Dialah yang bersedekah segantang kurma, ketika diolok-olok oleh munafikun.
Ka’ab meneruskan ceritanya: “Tatkala saya mendengar, bahwa Rasulullah saw. berada dalam perjalanan pulang dari Tabuk, maka kesusahanpun mulai menyelimuti saya. Saya mulai mereka-reka, alasan apa yang bisa menyelamatkan saya dari Rasulullah saw.. Saya juga meminta bantuan keluargaku mencari alasan dan jalan keluar yang baik.

Tetapi ketika mendengar bahwa Rasulullah saw. sudah dekat, hilanglah segala macam kebohongan yang saya siapkan, hingga saya yakin bahwa tidak ada alasan yang bisa menyelamatkan dari Rasulullah saw., selamanya. Karena itu saya akan mengatakan yang sebenarnya. Keesokan harinya, Rasulullah saw. tiba. Biasanya, kalau beliau datang dari bepergian, yang beliau tuju pertama kali adalah masjid. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat lalu duduk menunggu kaum muslimin melaporkan sesuatu dan sebagainya.
Maka berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk, menemui beliau. Mereka mengemukakan berbagai alasan kepada Rasulullah saw. disertai dengan sumpah. Mereka yang tidak ikut perang Tabuk ada 80 orang lebih. Rasulullah saw. menerima mereka, beliau memperkenankan memperbaharui baiat dan memohonkan ampunan bagi mereka, sedangkan batin mereka, beliau serahkan kepada Allah Ta’ala. Tibalah giliran saya menghadap. Ketika saya mengucapkan salam beliau tersenyum sinis, kemudian bersabda: “Kemarilah.” Ka’ab berjalan mendekat dan duduk di hadapan beliau. Lalu beliau mulai bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau tidak ikut berangkat? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?” saya menjawab: “Ya, Rasulullah, demi Allah, andaikan aku duduk di hadapan orang sekalinmu, saya yakin akan dapat bebas dari kemarahannya dengan mengemukakan alasan yang bisa diterima. Sungguh, saya telah dikaruniai kepandaian bicara. Namun demi Allah aku benar-benar yakin, seumpama hari ini aku berkata bohong dan engkau menerimanya, pasti sebentar lagi Allah akan menggerakkan hatimu untuk marah kepada saya. Sebaliknya jika saya berkata benar, yang membuatmu marah kepadaku, maka saya dapat mengharapkan penyelesaian yang baik dari Allah. Demi Allah saya tidak mempunyai udzur. Demi Allah diriku sama sekali tidak merasa lebih kuat dan lebih mudah daripada ketika aku tidak mengikutimu ke Tabuk. Sekarang ini, saya merasa cukup segalanya.”
Rasulullah saw. bersabda: “Orang ini (Ka’ab bin Malik) telah berkata benar. Berdirilah. Tunggulah keputusan Allah terhadap dirimu.” Aku pun berdiri. Beberapa orang dari bani Salimah menghampiri saya. Mereka berkata kepada saya: “Demi Allah, kami tidak pernah melihat engkau melakukan dosa sebelum ini. Engkau benar-benar tidak mampu mengemukakan alasan kepada Rasulullah saw. seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yang tidak ikut ke Tabuk. Mestinya cukuplah bagimu, jika Rasulullah saw. memintakan ampun untukmu.”
Ka’ab melanjutkan: “Demi Allah, orang-orang bani Salimah itu terus menerus menyalahkan diriku, sehingga ingin rasanya saya kembali kepada Rasulullah saw. untuk meralat perkataanku. Tetapi kemudian aku bertanya kepada orang-orang bani Salimah itu: “Adakah orang lain yang mengalami seperti yang saya alami?” mereka menjawab: “Ya, memang ada. Ada dua orang yang mengatakan seperti yang engkau katakan dan mereka mendapatkan jawaban sama seperti jawaban yang engkau terima.” Saya bertanya: “Siapa mereka?” mereka menjawab: “Murarah bin Rabi’ah al-Amiriy dan Hilal bin Umayyah al-Waqifiy.”

Dua orang laki-laki shalih itu telah mengikuti perang Badar dan dapat kuikuti karena akhlaknya. Sejak saat itu, Rasulullah saw. melarang kaum Muslimin berbicara dengan kami bertiga. Sejak itu pula mereka telah berubah sikap dan menjauhi kami, sehingga bumi terasa asing bagiku, seolah-olah bumi yang saya pijak ini bukanlah bumi yang sudah kukenal. Keadaan seperti ini berlangsung selama lima puluh hari. Dua orang temanku (Murarah dan Hilal) menyembunyikan diri dan diam di rumahnya masing-masing, sambil tiada henti-hentinya menangis memohon ampun kepada Allah karena tidak ikut perang.
Di antara kami bertiga, akulah yang paling muda dan paling kuat. Aku tetap keluar rumah untuk mengikuti shalat jamaah bersama kaum muslimin, juga pergi ke pasar, tetapi tidak seorangpun mau diajak bicara. Saya pergi menghadap Rasulullah saw. untuk sekedar mengucapkan salam kepada beliau di tempat duduk beliau sesudah shalat. Tetapi hati ini berkata: “Apakah Rasulullah saw. akan menggerakkan bibir beliau untuk menjawab salam, ataukah tidak?” kemudian saya mengerjakan shalat berdekatan dengan beliau, sesekali saya melirik beliau. Apabila menghadap ke shalat, beliau memandangiku, kalau menengok ke arah beliau, beliau berpaling dari saya.

Hal itu terjadi berturut-turut sampai suatu hari saya berjalan-jalan, lalu melompati pagar pekarangan Abu Qatadah. Dia adalah saudara sepupu dan orang yang paling aku sayangi. Kuucapkan salam kepadanya, demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa aku ini cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah diam saja. Sehingga kuulangi pertanyaanku, dia tetap diam, sesudah saya ulangi pertanyaan saya sekali lagi, berulah ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Seketika itu mengalirlah air mata sya dan saya pun pulang.
Pada suatu hari saya sedang berjalan-jalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang petani beragama Kristen dari Syam yang datang ke Madinah untuk menjual bahan makanan. Petani itu bertanya (kepada orang-orang yang berada di pasar): “Siapakah yang dapat menunjukkan diriku kepada Ka’ab bin Malik?” orang-orang memberi isyarat ke arahku. Petani itu mendatangiku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku, dari raja Ghassan. Setelah saya baca ternyata isinya sebagai berikut: “Amma ba’du. Sungguh, kami mendengar bahwa temanmu (Nabi Muhammad saw.) mendiamkanmu, sedangkan Allah sendiri tidak menjadikanmu untuk tinggal di tempat hina san tersia-sia. Karena itu datanglah ke negeri kami. Kami pasti menolongmu.” Saat membaca surat itu aku berfikir: “Ini juga merupakan cobaan.” Kemudian saya bakar surat itu di dapur.

Kisah Tobat Abdullah bin Ka’ab bin Malik ra (2)


Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi

Selang empat puluh hari, tiba-tiba seorang utusan Rasulullah saw. datang kepadaku dan berkata: “Rasulullah saw. memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu.” Ka’ab bertanya: “Apakah saya harus menceraikannya, atau bagaimana?” utusan itu menjawab: “Tidak, tetapi hindarilah dia, jangan dekat-dekat kepadanya.”
Rasulullah saw. juga mengirimkan utusan kepada kedua orang temanku (Murarah dan Hilal), yang dimaksudnya sama dengan yang kuterima. Saya berkata kepada istriku: “Pulanglah kepada keluargamu. Sementara menetaplah engkau di sana, sampai keputusan Allah datang.
Suatu saat istri Hilal bin Umayyah menghadap Rasulullah saw. memohon kepada beliau: “Ya Rasulallah, suamiku, Hilal bin Umayyah, adalah seorang tua sebatangkara dan tidak mempunyai pelayan. Apakah engkau keberatan bila aku melayaninya?” Rasulullah menjawab: “Tidak, tetapi yang saya maksud jangan sampai ia dekat-dekat kepadamu.” Istri Hilal pun berkata: “Demi Allah, Hilal sudah tidak lagi mempunyai keinginan sedikitpun (gairah) terhadapku. Dan demi Allah, tak henti-hentinya dia menangis sejak engkau melarang muslimin berbicara dengannya, sampai hari ini.”

Sebagian keluarga berkata kepada saya: “Hai Ka’ab. Kalau saja engkau meminta izin kepada Rasulullah untuk istrimu tentu itu lebih baik, sebagaimana istri Hilal bin Umayyah untuk melayani suaminya.” Saya menjawab: “Saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah saw. apabila saya meminta izin kepada beliau, sedangkan saya seorang yang masih muda.”
Saya lalui kehidupan tanpa istri itu selama sepuluh hari (menunggu keputusan Allah). Genaplah sudah bagi kami, lima puluh hari sejak ada larangan berbicara dengan kami. Kemudian pada hari ke lima puluh, di bagian atas rumahku pada saat aku sedang duduk ketika shalat subuh, Allah menyebut-nyebut tentang kami. Di saat itu pula hatiku sangat resah, bumi yang sedemikian luas seakan sempit bagiku. Kemudian aku mendengar suara orang yang berteriak-teriak naik ke atas Sal’i. “Hai Ka’ab bin Malik, bergembiralah.” Serta merta aku menjatuhkan diri bersujud syukur dan aku tahu, bahwa saya dapat penyelesaian.

Rasulullah saw. memberitahu kepada kaum Muslimin, bahwa Allah Yang Mahaagung dan Mahatinggi telah menerima tobat kami bertiga. Kabar itu disampaikan seusai beliau mengerjakan shalat subuh. Maka kaum Muslimin berdatangan mengucapkan selamat dan ikut bergembira, juga kepada kedua orang teman (Murarah dan Hilal). Mereka ada yang datang berkuda, ada juga penduduk Aslam yang berjalan kaki dan ada pula yang naik gunung berteriak mengucapkan selamat, sehingga suaranya lebih cepat dari larinya kuda.
Ketika saya mendengar ucapan selamat dari orang pertama dan datang kepada saya, seketika itu juga saya melepaskan pakaian dan saya kenakan kepadanya. Padahal demi Allah, waktu itu saya tidak memiliki pakaian. Setelah itu saya meminjam pakaian dan berangkat untuk menghadap Rasulullah saw. sementara kaum Muslmini menyambut, mengucapkan selamat atas diterimanya tobatku. Mereka berkata kepada saya: “Selamat atas pengampunan Allah kepadamu.”
Demikianlah, sepanjang jalan kaum muslimin memberikan selamat. Sesampainya di masjid, ternyata Rasulullah saw. sedang duduk dikelilingi oleh para shahabat. Melihat kedatanganku, shahabat Thalhah bin Ubaidillah segera berdiri menyongsongku, menjabat tangan saya dan memberi ucapan selamat. Demi Allah. Tak seorangpun di antara para shahabat Muhajirin yang berdiri, kecuali dia. Karena itulah Ka’ab tidak bisa melupakan kebaikannya.
Ka’ab meneruskan ceritanya: “Tatkala saya mengucapkan salam kepada Rasulullah saw. beliau menyambut saya dengan wajah yang berseri-seri dan berkata: “Bergembiralah karena hari ini merupakan hari terbaik bagimu, sejak kamu dilahirkan ibumu.” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu darimu sendiri atau dari sisi Allah?” Beliau menjawab: “Dari Allah Yang Maha Agung dan Mahatinggi.”

Jika merasa senang, wajah Rasulullah saw. bersinar terang, seolah-olah merupakan potongan rembulan. Melalui wajahnya, kami mengetahui bahwa Rasulullah saw. sedang senang hatinya. Ketika aku duduk menghadap beliau, aku berkata: “Ya Rasulullah, sungguh, termasuk tobat saya (sebagai pernyataan rasa syukurku) aku hendak menyerahkan harta bendaku sebagai sedekah untuk (mendapatkan ridla) Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah saw. bersabda: “Simpanlah sebagian harta-bendamu (jangan engkau serahkan seluruhnya). Itu lebih baik.” Kemudian saya menjawab: “Saya masih mempunyai tanah yang menjadi bagian saya hasil rampasan perang di Khaibar.” Lebih lanjut saya berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya, Allah telah menyelamatkanku karena kejujuran. Dan saya nyatakan, bahwa termasuk tobatku (sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah) saya tidak akan berbicara selain yang benar, selama hidup saya.” Demi Allah, saya tidak pernah melihat seorangpun di antara kaum muslimin yang diuji Allah Ta’ala untuk berkata jujur, lebih baik dari saya semenjak berjanji kepada Rasulullah saw. hingga hari ini, aku tidak pernah sengaja berbohong. Dan saya berharap semoga Allah menjagaku dalam sisa hidupku.
Kemudian Allah menurunkan ayat 117-119: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”

Menurut Ka’ab, demi Allah. Belum pernah Allah memberikan nikmat, sesudah Dia memberi saya petunjuk memeluk Islam yang melebihi kejujuran saya kepada Rasulullah saw. sebab, andaikata saya berbohong kepada beliau, pastilah bencana menimpa saya (rusak agamaku) sebagaimana orang-orang munafik yang berdusta kepada beliau. Sungguh, Allah telah berfirman untuk orang-orang yang mendustai Rasulullah saw. dan mengecam betapa jelek orang tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam surah at Taubah ayat 95 dan 96: “kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena Sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. 96. mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. tetapi jika Sekiranya kamu ridha kepada mereka, Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang Fasik itu.”
Lebih lanjut Ka’ab berkata: “Urusan kami bertiga ditunda dari urusan orang-orang munafik, ketika mereka bersumpah kepada Rasulullah saw. lalu mereka menerima baiat mereka dan meminta ampun kepada Allah swt. tetapi masalah kami ditunda Rasulullah saw. sampai Allah memutuskan menerima tobat kami. Sebagaimana firman Allah: “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan tobatnya.” (at Taubah: 118)

Firman Allah tersebut menurut Ka’ab, bukan berarti kami bertiga ketinggalan dari perang Tabuk, tetapi mempunyai arti bahwa persoalan kami bertiga diundur dari orang munafik yang bersumpah kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan bermacam-macam alasan yang kemudian diterima oleh Rasulullah saw.” (HR Bukhari dan Muslm)
Dalam salah satu riwayat disebutkan: “Nabi saw. pada waktu perang Tabuk keluar pada hari Kamis; dan memang sudah menjadi kesukaan beliau untuk bepergian pada hari kamis.”
Dalam salah satu riwayat disebutkan: “Biasanya beliau kalau datang dari bepergian pada waktu pagi hari, dan bila datang biasanya langsung ke Masjid dan shalat dua rakaat kemudian duduk di dalamnya.”