Senin, 21 Oktober 2013

Menunaikan Amanah

Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; Hadits-hadits tentang Menunaikan Amanah

Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (an-Nisaa’: 58)

Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh,” (al-Ahzab: 72)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari dan bila dipercaya ia berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain dikatakan: “Walaupun ia berpuasa dan mengerjakan shalat serta mengaku bahwa dirinya muslim.”

Dari Hudzifah bin al-Yaman ra. ia berkata: Rasulullah saw. bercerita tentang dua peristiwa, yang pertama saya sudah mengetahui kenyatannya, sedangkan yang kedua itu saya masih menunggunya.
Pertama, beliau bercerita bahwa amanat itu datang ke lubuk hati manusia, kemudian turunlah al-Qur’an maka mereka mau mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kedua, beliau menceritakan tentang dicabutnya amanat, yaitu: “Ada seorang laki-laki yang sedang tidur kemudian dicabutlah amanat itu dari hatinya, sehingga sisa sedikit saja, kemudian ia tidur lagi maka tercabut pula sisa amanat itu, dan yang ada hanya bekasnya seperti bara api yang terinjak telapak kaki dan menimbulkan benkak, sedangkan kamu melihat bahwa di situ tidak apa-apa.” Sambil memberi contoh, beliau lalu mengambil batu kecil dan diinjak dengan kakinya. Setelah itu orang-orang seperti biasanya (berjual beli), tetapi tidak terdapat lagi orang yang jujur. Sehingga kalau ada seseorang yang dapat dipercaya dan mendapat pujian: Alangkah sabarnya, alangkah cerdiknya dan alangkah pandainya, padahal menurut beliau di dalam hatinya tidak sedikitpun terselip keimanan walaupun sebesar biji sawi.” Hudzaifah berkata: “Sungguh saya sudah mengalami suatu masa, dimana saya tidak memilih orang dalam berbaiat, bila ia seorang muslim, ia patuh dan taat pada agamanya. Apabila ia Nasrani atau Yahudi ia takut kepada hukum negara. Adapun kin, saya tidak bisa mempercayai dalam berbaiat kecuali pada si fulan dan fulan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Hudzaifah dan Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Allah Yang Maha Pemberi Berkah lagi Maha Tinggi, kelak akan mengumpulkan manusia, kemudian orang-orang mukminin berdiri dekat surga. Mereka lalu mendatangi nabi Adam as. dan berkata: “Wahai bapak kami, bukakan pintu surga ini untuk kami.” Beliau menjawab: “Bukankah yang mengeluarkan kalian dari surga adalah dosa bapakmu? Datanglah kepada Ibrahim khalilullah.” Merekapun mendatanginya, tetapi beliau menjawab: “Itu bukan hakku, aku hanyalah khalilullah (kekasih Allah) dan berada di belakang sekali, datanglah kepada Musa, karena Allah berfirman langsung kepadanya.” Merekapun mendatanginya, tetapi beliau menjawab: “Itu bukan hakku. Datanglah kepada nabi Isa Kalimah dan Ruhullah.” Maka Isa pun menjawab: “Itu bukan bagianku.” Kemudian mereka mendatangi nabi Muhammad saw. dan diminta untuk membuka pintu surga, beliau berdiri dan diizinkan untuk membukanya. Kemudian dilepaskanlah amanat dan kasih sayang dan keduanya itu berada di kanan dan kiri beliau sebagai titian menuju ke surga. Beliau bersabda: orang pertama yang melewatinya, berjalan secepat kilat.” Hudzifah bertanya: “Apakah ada yang berjalan secepat kilat?” Beliau menjawab: “Bukankah kalian dapat membayangkan bagaimana berjalan hanya sekejap mata? Kemudian ada seseorang yang melewatinya bagaikan terbangnya burung dan ada pula orang yang melintasinya bagaikan orang yang berlari kencang sekali. Semua itu, menurut beliau, tergantung amal perbuatan mereka.” Sedangkan Nabi Muhammad saw. berdiri di atas shirat (titian) seraya berdoa: “Wahai Rabb-ku, selamatkanlah, selamatkanlah.” Sehingga sampai pada giliran orang-orang yang amal baiknya sedikit bahkan sampai datang seseorang yang tidak bisa berjalan melainkan dengan merangkak. Dan di antara kedua tepi (titian), tergantung alat-alat yang dibuat dari besi, dan bertugas mengambil orang-orang yang harus diambilnya. Di antaranya ada orang yang terluka tetapi selamat dan ada pula orang-orang yang dicakar-cakarnya lalu dilemparkan ke dalam api neraka.” Menurut Abu Hurairah: Sesungguhnya dasar neraka jahanam itu sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.” (HR Muslim)

Dari Abu Khubaib Abdullah bin az-Zubair bin al-Awwam al-Quraisy ra. ia berkata: Tatkala az-Zubair (ayahku) berdiri pada perang Jamal, ia memanggilku maka akupun berdiri di sampingnya. Ia berkata: “Hai anakku, sesungguhnya hari ini tidak ada yang terbunuh kecuali orang yang menganiaya atau teraniaya. Saya merasa hari ini saya akan dibunuh teraniaya, dan yang paling saya takuti adalah hutang saya, apakah kamu menyadari bahwa hutang itu akan meninggalkan sisa dari harta kekayaan kita?” kemudian ia berkata: “Hai anakku, juallah semua harta benda yang kita miliki dan lunasilah hutang itu.” Juga berwasiat bahwa sepertiga dari hartanya, sedang sepertiga dari sepertiga itu diwasiatkan untuk cucu-cucunya yakni untuk anak-anak Abdullah bin az-Zubair. Anak-anak az-Zubair waktu itu ada delapan belas orang, sembilan laki-laki dan sembilan perempuan. Menurut Abdullah: az-Zubair selalu berwasiat untuk melunasi hutangnya. Ia berkata: “Hai anakku, seandainya kamu tidak mampu melunasinya maka hendaklah memohon pertolongan kepada Pemimpinku.” Abdullah berkata: Demi Allah, saya tidak mengetahui apa yang dimaksud olehnya, sehingga saya berkata: “Wahai ayahku, siapa Pemimpinmu?” Ia menjawab: “Allah.” Abdullah berkata: “Maka demi Allah, seandainya saya mengalami kesulitan dalam melunasi hutangnya saya berdoa: “Wahai Pemimpin Zubair, lunaskanlah hutangnya.” Akhirnya ia dapat melunasi hutangnya. Abdullah mengatakan: “Setelah itu terbunuhlah az-Zubair, dan ia tidak meninggalkan dinar ataupun dirham, kecuali beberapa bidang tanah di Ghobah, sebelas buah rumah di Madinah, dua buah rumah di Bashrah, satu buah rumah di Kufah dan sebuah rumah di Mesir.
Hutang itu disebabkan seseorang yang datang dengan membawa harta dan menitipkan kepadanya, kemudian az-Zubair berkata: “Tidak, saya tidak senang dititipi, khawatir kalau hilang, tetapi saya hutang saja.” Sebenarnyalah az-Zubair tidak pernah menjadi petugas penarik pajak, dan ia selalu ikut berperang bersama-sama Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra. Lanjutnya, setelah saya hitung ternyata saya mempunyai hutang dua juta dua ratus ribu.”
Kali tertentu Abdullah bin Hizam bertemu dengan Abdullah bin az-Zubair dan berkata: “Wahai kemenakanku, berapakah hutang saudaraku?” Saya sembunyikan dan saya katakan: “Seratus ribu.” Hakim berkata: “Demi Allah, saya tidak tahu apakah engkau dapat melunasinya?” Abdullah berkata: “Bagaimana pendapatmu apabila hutangnya mencapai dua juta dua ratus ribu?” Ia menjawab: “Saya tidak tahu apakah kamu dapat melunasinya atau tidak, jika kamu tidak mampu melunasinya mintalah bantuan kepadaku.”
Menurut Abdullah: “Az-Zubair dulu membeli tanah al-Ahobah seharga seratus tujuh puluh ribu.” Abdullah bermaksud untuk menjualnya seharga satu juta enam ratus ribu, kemudian ia berdiri dan berkata: “Siapa saja yang menghutangi az-Zubair, maka saya akan melunasinya, dan datanglah kepada kami di Ghobah.” Maka datanglah Abdullah bin Ja’far, ia menghutangi Zubair sebanyak empat ratus ribu, dan ia berkata kepada Abdullah: “Kalau kamu mau, saya tidak akan menagihnya kepadamu. Kalau kamu mau, lunasilah belakangan.” Abdullah bin Zubair berkata: “Tidak.” Abdullah bin Ja’far menjawab: “Kalau begitu berilah saya sebagian tanah di Ghobah ini.” Abdullah bin Zubair berkata: “Kalau begitu, kamu mendapat bagian dari sini sampai sini.”
Abdullah kemudian menjual sisa hutan itu untuk melunasi hutang ayahnya dan masih tersisa empat setengah bagian. Kemudian ia datang ke tempat Mu’awiyah. Waktu itu di tempat Mu’awiyah ada beberapa orang yaitu ‘Amr bin Utsman, al-Mundzir bin Zubair dan Ibnu Zam’ah. Mu’awiyah pun bertanya kepada Abdullah: “Hutan itu dijual berapa?” Abdullah menjawab: “Setiap bagian seratus ribu.” Mu’awiyah bertanya: “Masih tersisa berapa?” Abdullah menjawab: “Masih tersisa empat setengah bagian.” Al-Mundzir bin Zubair berkata: “Kalau begitu saya mengambil sebagian dengan harga seratus ribu.” Demikian pula dengan Ibnu Zam’ah: “Saya mengambil sebagian dari seratus ribu.” Kemudian Mu’awiyah bertanya: “Masih sisa berapa?” Abdullah menjawab: “Masih tersisa satu setengah bagian.”
Mu’awiyah berkata: “Saya yang mengambilnya dengan harga seratus lima puluh ribu.” Kemudian Abdullah bin Za’far menjual bagiannya kepada Mu’awiyah dengan harga enam ratus ribu.
Setelah Abdullah bin Zubair selesai melunasi hutang ayahnya, maka putri-putri az-Zubair berkata: “Bagilah warisan kami.” Abdullah menjawab: “Demi Allah, saya membagi untuk kalian sebelum empat tahun, sebab pada setiap musim, saya akan menyiarkan siapa saja yang menghutangi Zubair hendaknya datang kepada kami, dan kami pasti akan melunasinya.
Demikianlah pada setiap tahunnya Abdullah menyiarkannya. Sesudah melewati empat tahun maka Abdullah membagi harta warisan itu dan mengambil sepertiga yang diwasiatkan. Dan az-Zubair meninggalkan empat istri, masing-masing mendapat bagian satu juta dua ratus ribu. Jadi semua harta kekayaan az-Zubair berjumlah lima puluh juta dua ratus ribu.” (HR Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar